Rabu, 28 April 2010

Mengenang Alam dan Sosial Desa (Paremono 1970-an)

Mencoba kembali memutar ingatan ke keadaan Desa Paremono di tahun 1970-an yang segera terbayang adalah sebuah suasana desa yang masih sangat tradisional. Jika ingin melihat visualisasi yang hampir mirip dengan gambaran tersebut, kita bisa menyaksikan film Ateng Minta Kawin. Melalui internet di situs YouTube, saya pernah menyaksikan film ini sampai berkali-kali untuk mengenang kembali gambaran suasana yang sangat mirip dengan desa Paremono pada tahun 1970-an. Film itu diproduksi sekitar tahun 1974. Sebagian besar shooting atau pengambilan gambarnya dilakukan di luar ruang (out door) di Desa Bojong, tetangga utara Desa Paremono yang dibatasi jalan raya yang membentang dari Semarang ke Jogja. Selain dibintangi oleh Ateng (alm) film itu juga melibatkan bintang lain seperti Eddy Sud (alm), Titik Puspa, Vivi Sumanti, Iskak (alm) dan penyanyi keroncong Eny Kusrini.

Ada beberapa scene (gambar) yang mengambil lokasi di Desa Paremono, yakni adegan memandikan kerbau di (bendungan) Kali Kuning yang menjadi bagian pembuka (opening) film ini. Di scene ini, beberapa warga Paremono dilibatkan sebagai figuran. Yang saya ingat adalah putra pertama Pak Su Tegalo ( saya lupa namanya, di film itu ia berambut kuncung) dan Latief (Krapyak, mantan pemain sepak bola kebanggaan Paremono, PORPA). Scene lain adalah sebuah adegan yang menggambarkan Tatiek Wardijono memberikan surat dari Vivi Sumanti untuk Ateng.

Rumah-rumah gedhek (anyaman kulit luar bambu) yang sebagian besar berlantai tanah, halaman-halaman luas berdebu dengan hamparan kepang-kepang untuk menjamur gabah, dan rimbunnya rumpun-rumpun bambu adalah sebuah gambaran umum desaku di masa lalu. Jarak antar rumah masih jarang. Terdapat kolam-kolam tempat mandi dan mencuci dengan kali yang airnya jernih dan di atasnya melintang jembatan bambu. Beberapa kandang kerbau menyelip di antara bangunan-bangunan rumah. Di tiang-tiang kandang itu dipasangi balok melintang yang menjadi penahan kerbau agar tidak keluar kandang. Sebagian dari bangunan kandang dijadikan tempat untuk menampung lesung kayu besar untuk menumbuk padi. Alat transportasi umum berupa andong. Tak ada suara motor atau mobil lewat. Di bagian film itu juga digambarkan sepur trutuk berhenti di stasiun (Blabak?--sampai tahun 1976 jalur rel yang menghubungkan Semarang-Jogja yang dilewati oleh sepur trutuk masih hidup. Gara-gara banjir lahar dingin yang menjebol jembatan Kali Krasak tahun 1977 menyebabkan jembatan kereta api yang melintasi sungai tersebut ambrol dan tidak diperbaiki sampai saat ini) , suasana pasar tradisional tempat berkumpul pedagang tradisional yang menggelar dagangan di lapak-lapak seadanya. Benar-benar sebuah lintasan potret masa lalu desaku dan lingkungannya yang masih bisa kita saksikan secara visual.

Ihwal rumah-rumah gedhek, ada sisi masa lalu menarik yang bisa diungkap untuk menggambarkan betapa nilai-nilai kebersamaan, kegotongroyongan dan solidaritas warga sangat kental waktu itu. Benar-benar guyup dan rukun. Apabila ada warga desa yang sedang membangun rumah, para tetangga sekitar akan ramai-ramai membantu yang disebut sebagai sambatan. Mereka bekerja bergotong royong tanpa imbalan uang kecuali para tukang kayu. Imbalan yang sering diterima adalah makanan yang diantarkan langsung dari rumah orang yang nyambat ke para warga sekitar yang ikut bekerja. Namanya munjung (dari kata punjung) atau ter-ter (dari kata ngeteri-eteri, memberi antaran)

Wadah punjungan biasanya berupa bakul yang terbuat dari anyaman bambu (ceting). Nasi ditaruh di bagian paling bawah dan diatasnya diberi pembatas alas daun pisang yang dipotong melingkar mengikuti bentuk bakul. Lauk pauk yang ditaruh di piring beralas daun pisang biasanya terdiri atas sambal goreng kentang-krecek atau buncis, mi kuning atau bihun goreng, dua biji telur bebek rebus yang masing-masing dipotong menjadi dua bagian atau dendeng daging yang ditaruh di atas serundeng dilengkapi ento-ento (gorengan tepung beras yang dibumbui ketumbar, kemiri, santan dan garam yang dibentuk bulatan kecil-kecil), perkedel serta kerupuk udang. Agar tidak tumpah dan mudah membawanya, punjungan ini dibungkus dengan taplak meja dan diikat dengan cara mempertemukan keempat pojok taplak meja tersebut di bagian atasnya.

Sambatan yang melibatkan banyak warga sekitar biasanya hanya berlangsung dua hari. Pekerjaan yang tersisa biasanya ditangani oleh para tukang kayu dan sebagian kecil warga kampung yang memang diminta tolong untuk membantu penyelesaian bangunan dengan imbalan upah. Sudah menjadi tradisi pula, saudara-saudara yang tempat tinggalnya agak jauh akan datang membantu dengan menyumbang uang atau beberapa bahan makanan seperti beras, kelapa, bihun atau mi kuning kering, gula dan teh. Sebagai timbal balik, mereka inipun akan menerima punjungan pula.

Hanya keluarga-keluarga yang tergolong sangat mampu saja yang memiliki bangunan rumah permanen (gedong). Di film Ateng Minta Kawin yang mirip dengan gambaran di desaku, rumah-rumah gedong itu berlantai tinggi dengan tembok tebal. Lantai biasanya telah diplester dengan semen (dijubin) dengan dua atau tiga tangga memanjang. Di bagian tengah tangga dilengkapi prosotan atau plengsengan untuk menaikkan sepeda. Dinding bangunan berupa tembok dari bata merah dan semua kayunya dari kayu jati atau kombinasi jati dan nangka. Di bagian dalam dipasang gebyok dari papan-papan kayu jati sebagai pemisah antarruangan. Hiasan atau aksesori rumah biasanya berupa kapstok tempel (gantungan topi, kopiah atau baju) dilengkapi cermin bulat. Di sisi lain digantungkan patung kayu berupa kepala menjangan bertanduk. Mebel atau perabotan terdiri atas lemari jati, bufet, beberapa biji kursi dengan dudukan dan sandaran dari anyaman rotan dan alas meja bulat dari marmer. Semua mebel dan aksesori tersebut, jika dilihat dengan kaca mata saat ini sudah termasuk kategori benda-benda antik yang diburu para kolektor dan bernilai jual tinggi.

Setiap dusun yang rata-rata terdiri dari 50- 70 kepala keluarga (KK) paling-paling hanya memiliki satu atau dua rumah tembok. Bentuk bangunan berupa joglo atau limasan biasanya berada di lahan yang cukup luas. Halamannya jika siang hari digunakan untuk menjemur gabah dan di sore atau malam hari sering menjadi tempat bermain anak-anak di kala senggang sepulang sekolah maupun sewaktu terang bulan purnama. Permainan anak-anak yang sangat populer waktu itu adalah petak umpet (jelumpet), gobak sodor, kelereng , ular naga, bentik, sepak bola dan tinju (boksen). Variasi permainan lainnya antara lain mandi rame-rame di kolam (blumbang ) milik warga sambil perang air, terjun dari pohon atau pagar kolam ke air, dan pertandingan menyelam dan sebagainya.

Infrastruktur desa waktu itu masih menggambarkan sebuah potret “desa tertinggal” yang kental dengan tradisi masyarakat petani. Tanah-tanah yang luas dan kebun kosong masih cukup mudah dijumpai di berbagai pelosok desa. Tidak sebagaimana saat ini yang untuk mencari tanah kosong saja sulit dan jarak antarrumah sudah sangat rapat ibarat genteng rumah satu ketemu dengan genteng rumah yang lain.

Burung Jalak Suren Teman Petani

Jika musim kemarau mencapai puncaknya, suasana malam begitu dingin (bediding). Udara dingin menembus sela-sela dinding gedhek yang dilapisi kepang menyebabkan selimut (berupa kain sarung atau kain jarit) harus menutup seluruh tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki sepanjang malam. Saat bangun di pagi hari, udara dingin menusuk sampai ke tulang sumsum menyebabkan bibir biru dan saat berbicara mengeluarkan asap (persis seperti para bintang film Barat berdialog di film saat musim dingin). Burung jalak suren tak henti berkicau di pohon cangkring yang tengah berbunga lebat (kembang celung). Sekumpulan burung trotokan berlarian sambil mengeluarkan bunyi sangat riuh-rendah di pohon amplas (rempelas) yang rimbun sambil menjatuhkan buah-buah amplas yang sudah matang. Di sana-sini terlihat beberapa kelompok orang menyalakan tumpukan larahan, daun bambu kering untuk berdiang, menghangatkan badan. Dalam balutan musim seperti ini, sudah biasa jika mendapatkan kulit kaki dan tangan pecah-pecah dan berwarna putih (busiken). Sebagian warga, terutama anak-anak sekolah menyiasati hal ini dengan mengoleskan minyak goreng (lengo klentik) agar kaki dan tangan kelihatan lebih halus.

Pada musim kemarau seperti ini, para petani biasanya tengah menanam tembakau. Banyak warga Paremono yang mengandalkan jenis tanaman ini sebagai sarana memperoleh rejeki besar. Jika musim sedang bersahabat (tidak pernah turun hujan dalam jangka waktu panjang) dan harga tembakau sedang bagus, banyak warga desa yang berhasil menjadi petani kaya dadakan. Namun jika musim sedang kurang berpihak dan harga komoditas ini anjlok, banyak pula warga desa yang stress dan angles (loyo) hidupnya. Pasalnya tanaman tembakau biasanya menguras modal, tenaga dan pikiran para petani. Komoditas ini juga banyak membuka lapangan kerja bagi masyarakat sejak tanaman ini akan ditanam hingga masa panen. Jika masa panen tembakau mencapai puncaknya, suasana desa sangat hidup hampir 24 jam sehari.

Kembali ke sawah, sehabis panen padi, kumpulan-kumpulan burung kuntul dan blekok yang putih hinggap mencari makan berupa cacing tanah di pagi dan sore hari. Burung jalak suren menjadi teman para pembajak sawah. Satu-dua hinggap di tubuh kerbau mencari kutu kerbau. Sekitar jam 08.00 istri pemilik sawah akan datang membawa minuman teh manis panas (tehnya cap Tjatoet kemasan biru) yang dibawa di ceret. Bersama minuman, dibawa pula nyamikan seperti misalnya ketan dengan parutan kelapa , ketan salak (wajik gula jawa yang dimakan dengan cocolan parutan kelapa) , tempe goreng atau pisang goreng untuk disantap pembajak sawah.

Di sungai-sungai yang mengalir di pinggir-pinggir atau menembus tengah desa, masih cukup mudah menjumpai ikan-ikan seperti lele lokal (lele asli, endemik Jawa), tawes, gabus (kotes), wader, uceng dan mujair. Di beberapa lokasi sepanjang sungai, cukup banyak kita jumpai warga yang membuat kubangan diberi pembatas gundukan tanah ditutupi ranting-ranting pohon (siwakan) untuk menjebak ikan agar masuk dan berumah di situ.

Jika sedang beruntung, setelah dibiarkan beberapa bulan, dari siwakan ini bisa dipanen berkilo-kilo ikan yang sebagian bisa dijual dan sebagian dimakan sebagai lauk sekeluarga. Masakan mangut lele yang disantap dengan nasi panas beras Jawa (varietas beras lokal yang rasanya sangat enak) adalah makanan paling mewah dan nikmat bagi warga kebanyakan. Pada saat-saat tertentu (biasanya menjelang Lebaran atau mau mengadakan pesta pernikahan) , warga yang memiliki kolam akan mengeringkan kolam untuk diambil ikannya. Selain mendapatkan ikan yang benihnya ditebar sendiri seperti gurame yang besar (bahkan ada yang sebesar bantal), akan didapatkan pula ikan-ikan pendatang seperti lele, mujair, belut, tawes dan wader.

Di beberapa sungai agak besar seperti Kali Kuning atau Kali Kunjang yang memiliki kubangan air cukup dalam dan dekat tebing dengan pohon-pohon semak yang rimbun, di kubangan air tersebut pada saat-saat tertentu masih bisa kita lihat berang-berang (regul) yang biasa memangsa ikan. Berang-berang itu membuat lubang (rumah) perlindungan dengan cara melubangi pinggir tebing. Tetanggaku yang punya kebiasaan mencari ikan di malam hari menyusuri sungai (ngobor, nyuluh), suatu saat pernah membawa pulang seekor berang-berang yang kemudian dimasak gulai. Untuk menangkap berang-berang, yang sering dilakukan adalah dengan cara membuat api dan mengasapi lubang perlindungan berang-berang secara terus-menerus. Akibat kepanasan dan tidak kuat dengan bau asap membuat berang-berang tersebut keluar dari lubang persembunyiannya. Saat-saat inilah menjadi hiruk-pikuk karena orang-orang yang sudah sekian lama menunggu di depan lubang akan berteriak-teriak mengejar dan menangkap berang-berang tersebut.

Saat sawah selesai dibajak (digaru) dan siap ditanam bibit padi, di situ cukup mudah menemukan belut sawah yang ukurannya kecil-kecil tapi rasanya sangat gurih. Di beberapa kolam milik warga juga bisa ditemukan moa (belut bertelinga, pelus) sebesar pergelangan tangan orang dewasa. Pak Lik ku yang sekarang bermukim di nDeli (Sumatera Utara) sebagai transmigran swakarsa awal tahun 1970-an pernah menangkap seekor moa. Saking besarnya, saat membawa pulang, moa tersebut dipanggul di pundak. Di manakah jenis-jenis satwa yang dulu menghuni lingkungan pedesaan dan sangat akrab dengan kehidupan keseharian warga desa? Dimana burung jalak suren, jalak pito, pelatuk, betet atau kuntul? Di mana satwa-satwa air tawar seperti lele lokal, moa atau berang-berang?

Infrastruktur seperti jalan desa dan jalan lingkungan masih sangat terbelakang. Jika di musim kemarau jalanan berdebu sedangkan di musim hujan beberapa ruas jalan desa menjadi becek. Ruas jalan Japun-Gamol, Gamol- Trojayan, Tegalo- Japun, Japun-Dowo, Namengan-Ponggok, dan Gamol-Rambeanak tak pernah nyaman dilalui para pengendara sepeda, sarana transportasi yang umum dimiliki warga Paremono waktu itu, karena becek di kala hujan.

Saya ingat persis waktu naik sepeda di jalan di depan rumah Pak Sum (Trojayan) dan Pak Slam (Namengan) ketika saya duduk di kelas III SD Paremono I pernah bertabrakan dengan orang lain. Gara-garanya masing-masing menghindari jalan becek sementara jalan yang relatif bagus untuk dilalui hanya cukup menampung satu sepeda. Karena tidak ada yang mau mengalah, maka “mak gabrus” terjadi tabrakan. Saya juga pernah terjatuh dari sepeda sebelum memasuki desa Tirto dari Gamol karena jalanan yang buruk. Sepeda persneling (cik-cik) merek Raleigh , Humber dan Gazele adalah sepeda paling favorit selain sepeda jengki merek Phoenix produksi China. Jika hampir semua jaringan jalan yang menghubungkan Paremono dengan desa-desa lain maupun yang berada di seluruh desa sudah cukup mulus dan dilapisi aspal seperti saat ini, maka kita wajib bersyukur. Ketika saya memiliki mobil sedan baru (gress) pertama kali tahun 1995 merek Daihatsu Classy warna biru bernomor polisi pesanan khusus ( B 2667 NV – tanggal lahir istri 2 Juni 1967 dan NV, bulan menikah kami November) pemberian dari kantor tempat saya bekerja dulu, saya pernah memberi uang khusus kepada salah satu warga Dusun Namengan yang kebetulan sedang ke Jakarta. Rencananya saya mau mudik Lebaran dengan mobil pribadi sekeluarga. Melalui dia saya minta tolong agar kondisi jalan di beberapa titik dibuat lebih landai. Sebab kalau tidak, maka mobil sedan saya yang tergolong kecil dan berchassis rendah akan membentur dasar jalan.

Kembali ke tahun 1970-an, waktu itu kendaraan bermotor roda dua, apalagi roda empat masih sangat langka. Beberapa merek motor yang dimiliki oleh sangat sedikit warga Paremono adalah BMW , BSA, AJS ,Vespa atau DKW. Kendaraan bermesin roda dua yang disebut terakhir ini tergolong sangat unik karena bisa dikendarai dengan cara menghidupkan mesin atau dikayuh layaknya sepeda. Kendaraan roda dua keluaran Jepang waktu itu bisa dikatakan belum dikenal dan baru merajalela di akhir tahun 1970-an.

Akan halnya kendaraan roda empat, di lingkungan saya orang yang pertama kali memiliki kendaraan ini adalah Mbah Djo sekitar tahun 1973. Jenisnya adalah oplet yang disopiri oleh Pak Slam, putera sulungnya. Kendaraan penumpang ini melayani rute Muntilan-Magelang dan pada saat-saat tertentu disewa untuk kendaraan pengangkut rombongan pengantin. Sore hari sebelum masuk ke garasi, oplet ini biasanya dicuci di Kali Kuning. Pada saat seperti itu, satu dua kali saya pernah ikut numpang, sekadar merasakan “nikmatnya” naik mobil sesaat.

Kendaraan dari luar desa yang sering masuk ke Paremono biasanya truk yang mengangkut bahan bangunan atau truk dari Perusahaan Negara (PN) Kertas Blabak yang mengangkut jerami padi (damen) sebagai bahan baku memproduksi kertas. Beberapa kali saya ingat kendaraan-kendaraan tersebut terperosok dan slip karena melewati jalanan yang becek. Jika ada mobil memasuki desa, maka anak-anak akan berlarian dan berebutan untuk numpang di belakangnya. Anak-anak yang tergolong pemberani akan berusaha meloncat ke bak truk untuk ikut menikmati perjalanan sesaat. Maklum, merasakan naik mobil adalah sebuah momen yang langka dan sangat istimewa.

Penganten Menumpang Kereta

Jangankan mobil, jika ada andong atau kereta kuda yang lewat saja akan menjadi sasaran anak-anak untuk numpang. Beberapa kusir yang galak sering melarang dengan cara melecutkan pecutnya ke arah anak-anak jika mendapati polah tingkah anak-anak desa seperti itu. Jika ada warga Paremono yang menikah dengan orang dari luar desa, rombongan pengantin biasanya diangkut dengan beberapa kereta (ditarik dua ekor kuda) dan andong( ditarik satu ekor kuda). Pengantin naik di kereta paling depan. Di sepanjang jalan yang dilalui oleh rombongan ini, rame berjejer anak-anak dan orang tua menyaksikan mereka. Setiap melewati jembatan yang besar, seperti jembatan Kali Elo, Kali Progo atau Kali Pabelan, rombongan ini biasanya sudah menyiapkan anak ayam yang dimasukkan ke dalam keranjang anyaman bambu. Begitu melewati jembatan, maka ayam dalam keranjang ini akan dilempar dan kemudian diambil oleh warga sekitar.

Saat memilih hari pernikahan, orang yang punya gawe biasanya berkonsultasi terlebih dahulu dengan “orang tua”, yakni orang yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai primbon Jawa (Primbon Betaljemur Adam Makna). Dari situ akan diketahui hari baik dan bulan baik. Bahkan sampai urusan menentukan jam berapa yang baik untuk acara akad nikah, jam berapa dan menit ke berapa yang tepat untuk menaikkan tiang ke penopang (umpak) rumah, semua ada aturannya. Banyak orang waktu itu masih sangat percaya dengan primbon. Dua tetangga dekat rumah dikenal piawai dalam masalah ini dan sering dimintai pertimbangan saat seseorang mau punya gawe.

Sampai pertengahan era 1970-an, banyak warga desa yang masih mempratikkan budaya sinkretisme Jawa-Hindu-Islam seperti memberi sesaji kepada danyang di pojok-pojok desa, di kolam yang sering menjadi tempat mandi atau mencuci, di sumber mata air, di pojok sumur dan sebagainya saat seseorang akan memiliki gawe. Siwo (paman) jauh saya yang tidak pernah sholat tetapi mengaku beragama Islam masih suka memasang sesajen di sawah ketika upacara wiwit, yakni prosesi menjelang memanen padi. Sambil komat-kamit melafalkan mantra yang tidak saya ketahui maksudnya (maklum masih kecil), ia melakukan ritual melempar kue krasikan yang dibentuk bulat-bulat ke berbagai sudut sawah. Setelah itu ia akan meletakkan sesajen berupa nasi dengan segala ubo rampe yang dimasukkan ke dalam takir (daun pisang yang dibentuk segi empat sebagai wadah).

Sepulang memasang sesajen di sawah, di rumah telah siap acara kenduri (kenduren) dengan bacaan tahlil yang dipimpin oleh ayah saya. Segala hidangan berupa nasi (biasanya nasi megono, yakni nasi yang dimasak dengan cara kukus (diadang) dicampur parutan kelapa dengan sayur mayur seperti kol, nangka muda dan tauge) lengkap dengan ubo rampe berupa ingkung ayam (seekor ayam yang dimasak utuh dalam santan berbumbu) telah tersedia. Momen seperti ini selalu saya nantikan karena saya selalu kebagian ingkung berupa paha ayam kampung yang nikmat sekali rasanya. Maklum, makan dengan lauk ayam adalah sebuah peristiwa langka. Bisa dihitung dengan jari dalam setahun warga desa bisa menikmati lauk yang istimewa seperti ayam dan daging, yakni pada saat Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, dan Nyadran (sebuah upacara menghormat para leluhur yang dilakukan lima hari sebelum masuk puasa Ramadhan).

Ketika sebuah keluarga memiliki bayi, maka dalam lima hari penuh setiap malam warga sekitar akan berkumpul di rumah keluarga yang punya bayi (ngendong, jagong bayi). Acara ini dimulai dari sehabis sholat Isya sampai sekitar jam 23.00. Tak ada ritual khusus pada acara ini selain menjadi ajang silaturahmi, berbicara ngalor ngidul diselingi kepulan asap rokok dari rokok buatan sendiri (ting we, ngelinting dewe) berupa tembakau berbumbu kuat menyengat berupa klembak menyan atau berbumbu ringan berupa cengkeh bergambar Dorit (bendo arit) atau Menjangan. Adapun rokok keluaran pabrikan biasanya adalah merek Djeruk produksi Magelang atau Gudang Garam Merah produksi Kediri. Tak lama setelah tamu pengendong ini datang, tuan rumah akan menyajikan makanan ringan berupa wajik, lemper, lapis atau jadah dilengkapi teh manis panas yang telah dituangkan ke gelas sesuai dengan jumlah tamu. Saya lihat tradisi ngendong ini sekarang sudah tidak dijumpai lagi di Paremono. Yang masih ada adalah sedikit warga yang mempertahankan ritual memasang cermin dan gunting di dekat bayi dan memasang lentera minyak tanah atau sentir (karena minyak tanah semakin langka , ada yang menggantinya dengan lampu pijar 5 watt) plus sapu lidi bekas (sapu regel) di tempat menanam ari-ari dan tali pusar bayi di sekitar rumah.

Saat punya gawe istimema seperti acara pernikahan (memantu) adalah sebuah momen yang akan memeras segala energi fisik maupun psikis seluruh anggota keluarga yang punya gawe. Jika orang tersebut tergolong keluarga mampu, rentetan acara pesta sudah dimulai sejak jauh hari sebelum acara puncak berupa panggih (mempertemukan kedua mempelai) yang biasanya dilakukan di rumah mempelai perempuan, atau ngunduh manten di pihak keluarga pengantin laki-laki. Kerepotan bisa dimulai seminggu sebelum acara puncak tersebut dengan membangun barak. Bahan utama yang dipakai sebagai rangka adalah bambu yang kemudian menjadi sandaran atau penopang untuk meletakkan rigen ( anyaman bambu yang biasa dipakai untuk menjemur tembakau). Bangunan sementara ini dihias dengan bleketepe (anyaman daun kelapa tua) dan pohon pisang lengkap dengan buahnya yang sebagian sudah menguning , untaian janur kuning dan tebu hitam.

Warga terdekat sudah dilibatkan dalam kegiatan ini sejak jauh hari dengan menjadi panitia yang mengurusi sejak pengiriman ulem (undangan untuk kerabat dan relasi), peminjaman alat pesta seperti meja-kursi, peralatan makan, membangun barak, mengirimkan punjungan sampai acara selesai. Sebuah bangunan darurat disiapkan sebagai tempat dapur umum. Sekelompok pemuda dusun direkrut sebagai tenaga untuk menyajikan makanan (sinoman). Awal tahun 1970-an, hidangan makan untuk tamu awam yang baru datang setelah berbasa-basi sebentar dengan tuan rumah adalah makanan kecil berupa beberapa jenis kue basah seperti jadah, wajik (merah gula jawa atau jambon dengan pemanis gula pasir) , corobikang, gandos rangin, krasikan atau lemper yang dikeluarkan bersama segelas teh manis. Selain itu, di meja juga biasanya dilengkapi kue-kue kering yang dimasukkan ke dalam toples seperti kue panggang, bolu, atau emping mlinjo.

Setelah beberapa saat dipersilakan oleh tuan rumah, akan menyusul hidangan makan besar berupa sepiring nasi yang sudah dilengkapi lauk pauk (ramesan) yang terdiri dari sambel goreng kentang dan krecek dengan aksentuasi petai dan kapri, perkedel kentang, mi goreng, separo telur atau sekerat daging semur dan tidak lupa kerupuk. Jika tamu yang datang kebetulan tergolong orang yang sangat dihormati oleh tuan rumah (VIP), maka kepadanya dipersilakan makan secara prasmanan di ruangan khusus. Jenis lauk pauk yang disajikan untuk tamu VIP ini pun berbeda. Kesannya lebih mewah. Selain lauk-pauk tadi akan ditambahkan pula lauk pauk yang dianggap istimewa seperti bistik sapi (daging cincang yang dibentuk bulatan kecil-kecil dan dimasak dalam kuah santan dilengkapi dengan kapri plus petai), bacem tahu atau tempe, dan mangut gurame atau gule gurame dalam potongan kecil-kecil. Sebagai makanan penutup ditambahkan buah, biasanya pisang.

Saat puncak acara (panggih temanten) hidangan yang disajikan mengalir terus menerus dengan variasi berganti-ganti (mbanyu mili, seperti air yang terus mengalir). Dengan cara ini maka keluarga yang punya gawe akan terangkat gengsinya di mata masyarakat. Untuk memeriahkan pesta, keluarga mampu akan melengkapinya dengan menyajikan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk oleh dalang terkenal, ketoprak atau dang dut. Pertunjukan wayang biasanya dilakukan dua kali. Siang hari oleh dalang yang masih taraf belajar dan malam hari oleh dalang utama. Peralatan pertunjukan seperti gamelan atau wayang yang dimasukkan ke dalam peti, diangkut dari rumah sang dalang (kebanyakan dari daerah sekitar Jogja) menggunakan gerobak sapi. “Nong....nong....nong,” bunyi suara yang keluar dari kalung sapi. Peristiwa ini terekam sangat kuat dalam memori di otak saya saat pesta perkawinan Syah dari Dusun Paremono sekitar tahun 1971. Pesta perkawinan tersebut tergolong besar-besaran hingga memakan waktu berhari-hari.

Tiga hari menjelang puncak acara temu atau ngunduh manten, orang yang punya gawe telah menyewa loud speaker (merek Toa) . Waktu itu yang terkenal dari Dusun Tulung, Bumirejo. Loud speaker ini dipasang tinggi-tinggi di cabang pohon besar, pohon kelapa atau di tiang bambu. Musik dari tape recorder dengan pita kaset akan terus- menenus diputar sepanjang pagi hingga malam hari. Klenengan atau karawitan Tjondong Raos pimpinan Ki Tjondrolukito dengan pesinden kondang istrinya , Nji Tjondro Lukito, akan diputar berganti-ganti dengan dagelan Basijo, ketoprak Mataram , Wayang Orang Sri Wedari, Orkes Melayu Oma Irama dan Elvy Sukaesih dan Langgam Jawa Waljinah atau langgam dan keroncong Mus Mulyadi.

Suasana desa yang biasanya tenang, hening nirsuara -- kecuali suara-suara alam seperti kicau burung , suara jengkerik , suara angkup yang hinggap di daun waru, lengkingan tonggeret di pohon-pohon tinggi, atau desir angin menerpa daun bambu -- akan berubah. Dalam waktu beberapa hari udara desa akan meriah dengan suara yang keluar dari loud speaker. Karena dipasang tinggi-tinggi, suara ini akan jauh menembus batas ke desa-desa sekitar. Suaranya terdengar sangat nyaring menjadi teman bekerja para petani yang tengah sibuk di sawah atau menembus keheningan malam yang sunyi saat udara dingin dan kegelapan menyelimuti setiap sudut desa. Karena belum ada listrik, sumber energi untuk menghidupkan loud speaker dan tape recorder tersebut adalah baterai (aki) yang jika stroom habis akan di -chage ( di-stroom) di Blabak.

Warna Hiburan Desa

Karena hiburan masih langka, mendengar suara musik yang bersumber dari tape recorder berpengeras suara itupun sudah menjadi sarana hiburan tersendiri. Pesawat televisi waktu itu masih sangat langka. Yang umum adalah pesawat radio transistor dua band merek Cawang (National) atau Telesonic. Siaran radio waktu itu didominasi siaran RRI Pusat Jakarta (masih ingat acara berita setiap jam yang disiarkan oleh RRI Pusat dengan musik pembuka berita yang amat melodius itu?) dengan para penyiar kondang Sazli Rais, Hasan Asy’ari Oramahe atau Hastin Atas Asih dengan program acara terkenal Musik Pelepas Lelah. Selain RRI Pusat, siaran RRI Nusantara II Yogyakarta juga terkenal waktu itu dengan program hiburan lagu-lagu pop, program hiburan unggulan seperti Ketoprak Mataram, Dagelan Basijo atau Obrolan Pak Besut. Siaran RRI Surabaya (Wonotolo) juga bisa diterima cukup bagus. Setiap sore hari stasiun radio ini menyiarkan siaran pedesaan Mbangun Deso dengan musik pembuka berupa karawitan dengan lagu Gugur Gunung dan setiap malam Jum’at dia menyiarkan rutin Slawatan Laras Madyo. Untuk stasiun radio swasta (radio amatir) yang dikenal waktu itu baru Radio Tidar milik AKABRI Magelang dengan penyiar favorit Mas Yanto dan Mbak Endang.

Hampir semua stasiun radio masih mengandalkan siarannya di gelombang AM. Kalau cuaca hujan suara radio terdengar kresek-kresek dan hilang-timbul. Acara Pilihan Pendengar menjadi favorit para remaja dan anak muda di tahun-tahun itu. Setiap Lebaran tiba, acara Pilihan Pendengar (baik lagu-lagu melayu maupun pop) akan menjadi sangat semarak dengan ucapan-ucapan mesra dari para pengirim ke para pacarnya. Sepanjang siaran, lagu Selamat Lebaran yang sangat indah dari Oslan Husein akan menjadi latar belakang suara (back sound) terus menerus. Saat kita silaturahmi Lebaran (ujung), dari rumah ke rumah, setiap keluarga yang memiliki pesawat radio akan menyetel acara Pilihan Pendengar dengan latar belakang lantunan suara Oslan Husein ini. Indah dan semarak sekali suasananya.

Seingatku, warga Paremono yang terdekat dengan rumahku yang pertama kali memiliki pesawat televisi (sekitar tahun 1972) adalah Pak Fah dari Dusun Gamol. Dia adalah guru yang mengajar di SMP Muhammadiyah Muntilan.

Sebelum itu, siaran TV hanya bisa disaksikan di kota kecil terdekat, Blabak. Ingatan selintas mengenai hal ini membawa saya pada event pertandingan bulu tangkis beregu Thomas Cup. Di final waktu itu Indonesia yang dimotori oleh pemain tunggal Rudi Hartono dan ganda Tjun Tjun/ Djohan Wahjudi berhadapan Denmark dengan pemain tunggalnya yang sangat terkenal Svend Pri. Karena tak puas hanya mendengarkan laporan pertandingan secara langsung (istilahnya laporan pandangan mata) melalui RRI Pusat Jakarta (dengan cara membawakan laporan yang khas berupa kata-kata tanpa jeda itu) , beberapa anak muda tetanggaku pergi ke Blabak untuk menyaksikan pertandingan tersebut secara langsung melalui pesawat televisi. Sepulangnya, mereka dengan sangat antusias menceritakan bagaimana aksi pemain Denmark , Svend Pri, yang dikenal “urakan”. Di antaranya dengan mengembalikan bola lawan melalui sela-sela kaki. Hasil pertandingan akhir Indonesia unggul dan berhak atas trophy Thomas Cup dengan skor 5-4.

Untuk sekadar menonton TV, selepas sholat Maghrib, warga dusunku dan dusun-dusun lain , terutama anak-anak mudanya akan beramai-ramai mendatangi rumah Pak Fah. Pesawat TV hitam putih 14 inch itu dipasang di teras rumah beliau yang cukup lebar sehingga memungkinkan banyak orang menonton. Acara Dunia Dalam Berita dengan pembawa acara Toeti Adhitam dan Edwin , acara musik dan film-film Barat menjadi tontotan yang paling menarik. Waktu itu pertunjukan musik televisi kebanyakan masih direkam langsung di studio televisi. Video klip seperti yang kita kenal membanjiri hiburan musik televisi seperti saat ini belum ada.

Jumlah penonton akan bertambah berlipat ganda jika TVRI menyiarkan secara langsung pertandingan tinju antara petinju paling legendaris sepanjang masa, Mohammad Ali, dengan lawan-lawannya. Teriakan dan sorak-sorai penonton akan mewarnai sepanjang pertandingan. Semua akan puas jika di akhir pertandingan Si Mulut Besar (Muhammad Ali) berhasil memukul roboh (KO) lawannya. Hasil pertandingan ini akan terus menjadi topik pembicaraan menarik selama beberapa hari dalam obrolan sore hari selepas kerja maupun saat warga beristirahat di sawah. Saat ada pertandingan akbar seperti itu, murid-murid SD juga diperbolehkan menonton di tengah jam sekolah.

Tetangga terdekat kedua yang memiliki pesawat TV adalah Pak Sir dari Dusun Trojayan, sekitar tahun 1974. Yang saya catat pada momen ini adalah setiap Sabtu sore menjelang magrib, akan banyak sekali anak-anak yang telah menunggu ditayangkannya film dengan bintang utama seekor anjing yang sangat cerdik bernama Rin Tin Tin. Saat acara ini diputar, rumah Pak Sir yang besar itu pun penuh anak kecil. Pada setiap malam Rabu diputar film Mannix, seorang jagoan yang sangat cerdik dan film The Saint pada setiap malam Jum’at. Acara musik Kamera Ria Puspen Hankam juga sangat digemari karena sering menampilkan bintang-bintang penyanyi dan kelompok musik top waktu itu.

Acara yang kurang digemari adalah Wawancara dengan format yang sangat jadul (seorang pewawancara dengan beberapa nara sumber yang masing-masing duduk kaku) atau Mimbar Agama. Jika ada acara seperti ini, biasanya pesawat TV dimatikan sementara dan akan distel lagi setelah acara menarik berikutnya. Acara lain yang juga menjemukan adalah event tahunan Pemilihan Bintang Radio dan Televisi (BRTV) untuk memilih bintang penyanyi keroncong, seriosa dan pop yang memakan waktu tayang hingga berjam-jam.

Sebagai stasiun TV milik negara,TVRI waktu itu tidak mengandalkan anggaran siarannya melalui iklan. Meskipun demikian, iklan bukan sesuatu yang haram. Iklan-iklan yang sangat diingat oleh generasi itu adalah iklan obat sakit kepala Dusal dengan tampilan gambar wajah seorang bule yang kepalanya digabarkan meliuk-liuk akibat pusing. Setelah minum sebutir Dusal, sakit kepala si bule langsung sembuh. Juga ada iklan obat batuk Vick’s Formula 44. Iklan itu menggambarkan seorang pria Jepang gemuk terbatuk-batuk mengakibatkan komponen-komponen sebuah mobil rontok dan bannya yang lepas lari mengejar si pria tersebut. Setelah minum Vick’s, batuk pun reda dan pria pendek gemuk tersebut pun tersenyum. Hampir setiap malam rumah Pak Sir penuh sesak dengan warga yang akan menonton TV. Jika tuan rumah kebetulan sedang kurang sehat atau kurang baik mood-nya sehingga pesawat TV tidak dinyalakan, para “penonton yang kecewa” akan berbondong-bondong pulang.

Menjelang akhir dekade 1970-an kepemilikan pesawat televisi mulai merambah banyak warga. Mbah Djo, seorang juragan tembakau yang hanya berselang dua rumah dari rumahku , dan Pak Pur dari Dusun Mertan adalah warga terdekat lain yang menyusul memiliki “si kotak ajaib” tersebut. Film komedi Charlie Chaplin, Musik Minggu Siang, komedi Ria Jenaka, film bergenre western (koboi) The Wild Wild West dan Bonanza, The Six Million Dollar Man, I Dream of Jeany adalah sederet acara yang paling banyak ditunggu

Selain menonton televisi, warga Paremono waktu itu juga bisa menyaksikan berbagai macam pertunjukan kesenian rakyat, baik dari kelompok kesenian milik warga sendiri atau dari luar desa. Kethoprak, Kubro Siswo, Jathilan, Kuntulan, Campur dan sebagainya cukup sering meramaikan hiburan desa.

Di samping semua itu, pertunjukan musik dang dut adalah arena keramaian yang menjadi ajang mendatangkan penonton paling banyak. Apalagi jika yang bermain adalah kelompok musik dang dut dari Yogyakarta yang para penyanyi wanitanya dikenal cantik-cantik didukung teknik permainan dan tata suara (sound system) yang bagus. Hingga akhir tahun 1970-an, pertunjukan dang dut yang biasanya diadakan di halaman rumah orang yang sedang punya hajat pesta pernikahan tidak pernah mendatangkan kekisruhan berupa tawuran antarpenonton. Waktu itu nyaris tidak ada penonton yang menyaksikan pertunjukan musik dang dut sambil mabuk-mabukan dan berjoget.

Setiap bentuk keramaian di desa akan mengundang kedatangan para jagoan judi berupa judi koprok atau rolet dengan cara membuka lapak-lapak tak jauh dari arena pertunjukan. Sudah bukan rahasia lagi jika para penjudi ini bisa menggelar arena perjudian waktu itu berkat “berkoordinasi” dengan para aparat keamanan.

Sewaktu mahasiswa, dengan idealisme memberantas maksiat yang masih berkobar saya pernah melaporkan kepada seorang aparat keamanan resmi yang saya nilai bersih mengenai adanya kegiatan perjudian mendompleng acara kesenian Kubro Siswo. Karena orang yang saya lapori ini saya tahu persis termasuk orang yang bersih, tanpa ba bi bu ia langsung merazia (menggropyok) lapak-lapak perjudian. Semua orang kocar-kacir dan lari tunggang langgang. Beberapa peralatan judi oleh Pak Polisi tersebut diinjak-injak, lampu penerang ditendang. Dari tempat yang agak jauh saya menyaksikan adegan ini sambil bergumam, “Syukur!”

Setiap bentuk keramaian seperti ini juga berhasil mendatangkan para pedagang makanan dari berbagai daerah. Makanan yang biasa dijajakan di arena hiburan desa seperti ini antara lain bakso, gule dan tongseng kambing, martabak telur, wedang ronde, geblek, arum manis dan kupat tahu. Berdatangan pula pedagang rokok dan mainan anak-anak berupa mobil-mobilan kayu, orek-orek, balon yang diisi gas karbit, boneka akrobat dari kayu, dan sebagainya.

Panta rei, hidup terus mengalir, kata seorang filsuf Yunani. Keadaan desa Paremono dari tahun 1970-an hingga kini telah berjarak waktu 40-an tahun. Semua berubah dan berkembang. Perkembangan dan perubahan itu, tentu, ada yang positif dan negatif. Dan, forum ini tak berpretensi untuk memberi penilaian soal tersebut. Insya Allah, melalui blog ini cerita mengenai “sejarah perkembangan sosial” sebuah desa menurut versi subjektif ini akan saya tulis lagi dengan topik yang lain. Memori di otak ini masih sangat banyak yang ingin saya tuangkan, tapi kalau saya perpanjang lagi tulisan ini, khawatir pembaca keburu bosan dengan blog ini. Sanes wekdal mawon nggih! Salam Maju Desaku!

Mencoba kembali memutar ingatan ke keadaan Desa Paremono di tahun 1970-an yang segera terbayang adalah sebuah suasana desa yang masih sangat tradisional. Jika ingin melihat visualisasi yang hampir mirip dengan gambaran tersebut, kita bisa menyaksikan film Ateng Minta Kawin. Melalui internet di situs YouTube, saya pernah menyaksikan film ini sampai berkali-kali untuk mengenang kembali gambaran suasana yang sangat mirip dengan desa Paremono pada tahun 1970-an. Film itu diproduksi sekitar tahun 1974. Sebagian besar shooting atau pengambilan gambarnya dilakukan di luar ruang (out door) di Desa Bojong, tetangga utara Desa Paremono yang dibatasi jalan raya yang membentang dari Semarang ke Jogja. Selain dibintangi oleh Ateng (alm) film itu juga melibatkan bintang lain seperti Eddy Sud (alm), Titik Puspa, Vivi Sumanti, Iskak (alm) dan penyanyi keroncong Eny Kusrini.

Ada beberapa scene (gambar) yang mengambil lokasi di Desa Paremono, yakni adegan memandikan kerbau di (bendungan) Kali Kuning yang menjadi bagian pembuka (opening) film ini. Di scene ini, beberapa warga Paremono dilibatkan sebagai figuran. Yang saya ingat adalah putra pertama Pak Su Tegalo ( saya lupa namanya, di film itu ia berambut kuncung) dan Latief (Krapyak, mantan pemain sepak bola kebanggaan Paremono, PORPA). Scene lain adalah sebuah adegan yang menggambarkan Tatiek Wardijono memberikan surat dari Vivi Sumanti untuk Ateng.

Rumah-rumah gedhek (anyaman kulit luar bambu) yang sebagian besar berlantai tanah, halaman-halaman luas berdebu dengan hamparan kepang-kepang untuk menjamur gabah, dan rimbunnya rumpun-rumpun bambu adalah sebuah gambaran umum desaku di masa lalu. Jarak antar rumah masih jarang. Terdapat kolam-kolam tempat mandi dan mencuci dengan kali yang airnya jernih dan di atasnya melintang jembatan bambu. Beberapa kandang kerbau menyelip di antara bangunan-bangunan rumah. Di tiang-tiang kandang itu dipasangi balok melintang yang menjadi penahan kerbau agar tidak keluar kandang. Sebagian dari bangunan kandang dijadikan tempat untuk menampung lesung kayu besar untuk menumbuk padi. Alat transportasi umum berupa andong. Tak ada suara motor atau mobil lewat. Di bagian film itu juga digambarkan sepur trutuk berhenti di stasiun (Blabak?--sampai tahun 1976 jalur rel yang menghubungkan Semarang-Jogja yang dilewati oleh sepur trutuk masih hidup. Gara-gara banjir lahar dingin yang menjebol jembatan Kali Krasak tahun 1977 menyebabkan jembatan kereta api yang melintasi sungai tersebut ambrol dan tidak diperbaiki sampai saat ini) , suasana pasar tradisional tempat berkumpul pedagang tradisional yang menggelar dagangan di lapak-lapak seadanya. Benar-benar sebuah lintasan potret masa lalu desaku dan lingkungannya yang masih bisa kita saksikan secara visual.

Ihwal rumah-rumah gedhek, ada sisi masa lalu menarik yang bisa diungkap untuk menggambarkan betapa nilai-nilai kebersamaan, kegotongroyongan dan solidaritas warga sangat kental waktu itu. Benar-benar guyup dan rukun. Apabila ada warga desa yang sedang membangun rumah, para tetangga sekitar akan ramai-ramai membantu yang disebut sebagai sambatan. Mereka bekerja bergotong royong tanpa imbalan uang kecuali para tukang kayu. Imbalan yang sering diterima adalah makanan yang diantarkan langsung dari rumah orang yang nyambat ke para warga sekitar yang ikut bekerja. Namanya munjung (dari kata punjung) atau ter-ter (dari kata ngeteri-eteri, memberi antaran)

Wadah punjungan biasanya berupa bakul yang terbuat dari anyaman bambu (ceting). Nasi ditaruh di bagian paling bawah dan diatasnya diberi pembatas alas daun pisang yang dipotong melingkar mengikuti bentuk bakul. Lauk pauk yang ditaruh di piring beralas daun pisang biasanya terdiri atas sambal goreng kentang-krecek atau buncis, mi kuning atau bihun goreng, dua biji telur bebek rebus yang masing-masing dipotong menjadi dua bagian atau dendeng daging yang ditaruh di atas serundeng dilengkapi ento-ento (gorengan tepung beras yang dibumbui ketumbar, kemiri, santan dan garam yang dibentuk bulatan kecil-kecil), perkedel serta kerupuk udang. Agar tidak tumpah dan mudah membawanya, punjungan ini dibungkus dengan taplak meja dan diikat dengan cara mempertemukan keempat pojok taplak meja tersebut di bagian atasnya.

Sambatan yang melibatkan banyak warga sekitar biasanya hanya berlangsung dua hari. Pekerjaan yang tersisa biasanya ditangani oleh para tukang kayu dan sebagian kecil warga kampung yang memang diminta tolong untuk membantu penyelesaian bangunan dengan imbalan upah. Sudah menjadi tradisi pula, saudara-saudara yang tempat tinggalnya agak jauh akan datang membantu dengan menyumbang uang atau beberapa bahan makanan seperti beras, kelapa, bihun atau mi kuning kering, gula dan teh. Sebagai timbal balik, mereka inipun akan menerima punjungan pula.

Hanya keluarga-keluarga yang tergolong sangat mampu saja yang memiliki bangunan rumah permanen (gedong). Di film Ateng Minta Kawin yang mirip dengan gambaran di desaku, rumah-rumah gedong itu berlantai tinggi dengan tembok tebal. Lantai biasanya telah diplester dengan semen (dijubin) dengan dua atau tiga tangga memanjang. Di bagian tengah tangga dilengkapi prosotan atau plengsengan untuk menaikkan sepeda. Dinding bangunan berupa tembok dari bata merah dan semua kayunya dari kayu jati atau kombinasi jati dan nangka. Di bagian dalam dipasang gebyok dari papan-papan kayu jati sebagai pemisah antarruangan. Hiasan atau aksesori rumah biasanya berupa kapstok tempel (gantungan topi, kopiah atau baju) dilengkapi cermin bulat. Di sisi lain digantungkan patung kayu berupa kepala menjangan bertanduk. Mebel atau perabotan terdiri atas lemari jati, bufet, beberapa biji kursi dengan dudukan dan sandaran dari anyaman rotan dan alas meja bulat dari marmer. Semua mebel dan aksesori tersebut, jika dilihat dengan kaca mata saat ini sudah termasuk kategori benda-benda antik yang diburu para kolektor dan bernilai jual tinggi.

Setiap dusun yang rata-rata terdiri dari 50- 70 kepala keluarga (KK) paling-paling hanya memiliki satu atau dua rumah tembok. Bentuk bangunan berupa joglo atau limasan biasanya berada di lahan yang cukup luas. Halamannya jika siang hari digunakan untuk menjemur gabah dan di sore atau malam hari sering menjadi tempat bermain anak-anak di kala senggang sepulang sekolah maupun sewaktu terang bulan purnama. Permainan anak-anak yang sangat populer waktu itu adalah petak umpet (jelumpet), gobak sodor, kelereng , ular naga, bentik, sepak bola dan tinju (boksen). Variasi permainan lainnya antara lain mandi rame-rame di kolam (blumbang ) milik warga sambil perang air, terjun dari pohon atau pagar kolam ke air, dan pertandingan menyelam dan sebagainya.

Infrastruktur desa waktu itu masih menggambarkan sebuah potret “desa tertinggal” yang kental dengan tradisi masyarakat petani. Tanah-tanah yang luas dan kebun kosong masih cukup mudah dijumpai di berbagai pelosok desa. Tidak sebagaimana saat ini yang untuk mencari tanah kosong saja sulit dan jarak antarrumah sudah sangat rapat ibarat genteng rumah satu ketemu dengan genteng rumah yang lain.

Burung Jalak Suren Teman Petani

Jika musim kemarau mencapai puncaknya, suasana malam begitu dingin (bediding). Udara dingin menembus sela-sela dinding gedhek yang dilapisi kepang menyebabkan selimut (berupa kain sarung atau kain jarit) harus menutup seluruh tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki sepanjang malam. Saat bangun di pagi hari, udara dingin menusuk sampai ke tulang sumsum menyebabkan bibir biru dan saat berbicara mengeluarkan asap (persis seperti para bintang film Barat berdialog di film saat musim dingin). Burung jalak suren tak henti berkicau di pohon cangkring yang tengah berbunga lebat (kembang celung). Sekumpulan burung trotokan berlarian sambil mengeluarkan bunyi sangat riuh-rendah di pohon amplas (rempelas) yang rimbun sambil menjatuhkan buah-buah amplas yang sudah matang. Di sana-sini terlihat beberapa kelompok orang menyalakan tumpukan larahan, daun bambu kering untuk berdiang, menghangatkan badan. Dalam balutan musim seperti ini, sudah biasa jika mendapatkan kulit kaki dan tangan pecah-pecah dan berwarna putih (busiken). Sebagian warga, terutama anak-anak sekolah menyiasati hal ini dengan mengoleskan minyak goreng (lengo klentik) agar kaki dan tangan kelihatan lebih halus.

Pada musim kemarau seperti ini, para petani biasanya tengah menanam tembakau. Banyak warga Paremono yang mengandalkan jenis tanaman ini sebagai sarana memperoleh rejeki besar. Jika musim sedang bersahabat (tidak pernah turun hujan dalam jangka waktu panjang) dan harga tembakau sedang bagus, banyak warga desa yang berhasil menjadi petani kaya dadakan. Namun jika musim sedang kurang berpihak dan harga komoditas ini anjlok, banyak pula warga desa yang stress dan angles (loyo) hidupnya. Pasalnya tanaman tembakau biasanya menguras modal, tenaga dan pikiran para petani. Komoditas ini juga banyak membuka lapangan kerja bagi masyarakat sejak tanaman ini akan ditanam hingga masa panen. Jika masa panen tembakau mencapai puncaknya, suasana desa sangat hidup hampir 24 jam sehari.

Kembali ke sawah, sehabis panen padi, kumpulan-kumpulan burung kuntul dan blekok yang putih hinggap mencari makan berupa cacing tanah di pagi dan sore hari. Burung jalak suren menjadi teman para pembajak sawah. Satu-dua hinggap di tubuh kerbau mencari kutu kerbau. Sekitar jam 08.00 istri pemilik sawah akan datang membawa minuman teh manis panas (tehnya cap Tjatoet kemasan biru) yang dibawa di ceret. Bersama minuman, dibawa pula nyamikan seperti misalnya ketan dengan parutan kelapa , ketan salak (wajik gula jawa yang dimakan dengan cocolan parutan kelapa) , tempe goreng atau pisang goreng untuk disantap pembajak sawah.

Di sungai-sungai yang mengalir di pinggir-pinggir atau menembus tengah desa, masih cukup mudah menjumpai ikan-ikan seperti lele lokal (lele asli, endemik Jawa), tawes, gabus (kotes), wader, uceng dan mujair. Di beberapa lokasi sepanjang sungai, cukup banyak kita jumpai warga yang membuat kubangan diberi pembatas gundukan tanah ditutupi ranting-ranting pohon (siwakan) untuk menjebak ikan agar masuk dan berumah di situ.

Jika sedang beruntung, setelah dibiarkan beberapa bulan, dari siwakan ini bisa dipanen berkilo-kilo ikan yang sebagian bisa dijual dan sebagian dimakan sebagai lauk sekeluarga. Masakan mangut lele yang disantap dengan nasi panas beras Jawa (varietas beras lokal yang rasanya sangat enak) adalah makanan paling mewah dan nikmat bagi warga kebanyakan. Pada saat-saat tertentu (biasanya menjelang Lebaran atau mau mengadakan pesta pernikahan) , warga yang memiliki kolam akan mengeringkan kolam untuk diambil ikannya. Selain mendapatkan ikan yang benihnya ditebar sendiri seperti gurame yang besar (bahkan ada yang sebesar bantal), akan didapatkan pula ikan-ikan pendatang seperti lele, mujair, belut, tawes dan wader.

Di beberapa sungai agak besar seperti Kali Kuning atau Kali Kunjang yang memiliki kubangan air cukup dalam dan dekat tebing dengan pohon-pohon semak yang rimbun, di kubangan air tersebut pada saat-saat tertentu masih bisa kita lihat berang-berang (regul) yang biasa memangsa ikan. Berang-berang itu membuat lubang (rumah) perlindungan dengan cara melubangi pinggir tebing. Tetanggaku yang punya kebiasaan mencari ikan di malam hari menyusuri sungai (ngobor, nyuluh), suatu saat pernah membawa pulang seekor berang-berang yang kemudian dimasak gulai. Untuk menangkap berang-berang, yang sering dilakukan adalah dengan cara membuat api dan mengasapi lubang perlindungan berang-berang secara terus-menerus. Akibat kepanasan dan tidak kuat dengan bau asap membuat berang-berang tersebut keluar dari lubang persembunyiannya. Saat-saat inilah menjadi hiruk-pikuk karena orang-orang yang sudah sekian lama menunggu di depan lubang akan berteriak-teriak mengejar dan menangkap berang-berang tersebut.

Saat sawah selesai dibajak (digaru) dan siap ditanam bibit padi, di situ cukup mudah menemukan belut sawah yang ukurannya kecil-kecil tapi rasanya sangat gurih. Di beberapa kolam milik warga juga bisa ditemukan moa (belut bertelinga, pelus) sebesar pergelangan tangan orang dewasa. Pak Lik ku yang sekarang bermukim di nDeli (Sumatera Utara) sebagai transmigran swakarsa awal tahun 1970-an pernah menangkap seekor moa. Saking besarnya, saat membawa pulang, moa tersebut dipanggul di pundak. Di manakah jenis-jenis satwa yang dulu menghuni lingkungan pedesaan dan sangat akrab dengan kehidupan keseharian warga desa? Dimana burung jalak suren, jalak pito, pelatuk, betet atau kuntul? Di mana satwa-satwa air tawar seperti lele lokal, moa atau berang-berang?

Infrastruktur seperti jalan desa dan jalan lingkungan masih sangat terbelakang. Jika di musim kemarau jalanan berdebu sedangkan di musim hujan beberapa ruas jalan desa menjadi becek. Ruas jalan Japun-Gamol, Gamol- Trojayan, Tegalo- Japun, Japun-Dowo, Namengan-Ponggok, dan Gamol-Rambeanak tak pernah nyaman dilalui para pengendara sepeda, sarana transportasi yang umum dimiliki warga Paremono waktu itu, karena becek di kala hujan.

Saya ingat persis waktu naik sepeda di jalan di depan rumah Pak Sum (Trojayan) dan Pak Slam (Namengan) ketika saya duduk di kelas III SD Paremono I pernah bertabrakan dengan orang lain. Gara-garanya masing-masing menghindari jalan becek sementara jalan yang relatif bagus untuk dilalui hanya cukup menampung satu sepeda. Karena tidak ada yang mau mengalah, maka “mak gabrus” terjadi tabrakan. Saya juga pernah terjatuh dari sepeda sebelum memasuki desa Tirto dari Gamol karena jalanan yang buruk. Sepeda persneling (cik-cik) merek Raleigh , Humber dan Gazele adalah sepeda paling favorit selain sepeda jengki merek Phoenix produksi China. Jika hampir semua jaringan jalan yang menghubungkan Paremono dengan desa-desa lain maupun yang berada di seluruh desa sudah cukup mulus dan dilapisi aspal seperti saat ini, maka kita wajib bersyukur. Ketika saya memiliki mobil sedan baru (gress) pertama kali tahun 1995 merek Daihatsu Classy warna biru bernomor polisi pesanan khusus ( B 2667 NV – tanggal lahir istri 2 Juni 1967 dan NV, bulan menikah kami November) pemberian dari kantor tempat saya bekerja dulu, saya pernah memberi uang khusus kepada salah satu warga Dusun Namengan yang kebetulan sedang ke Jakarta. Rencananya saya mau mudik Lebaran dengan mobil pribadi sekeluarga. Melalui dia saya minta tolong agar kondisi jalan di beberapa titik dibuat lebih landai. Sebab kalau tidak, maka mobil sedan saya yang tergolong kecil dan berchassis rendah akan membentur dasar jalan.

Kembali ke tahun 1970-an, waktu itu kendaraan bermotor roda dua, apalagi roda empat masih sangat langka. Beberapa merek motor yang dimiliki oleh sangat sedikit warga Paremono adalah BMW , BSA, AJS ,Vespa atau DKW. Kendaraan bermesin roda dua yang disebut terakhir ini tergolong sangat unik karena bisa dikendarai dengan cara menghidupkan mesin atau dikayuh layaknya sepeda. Kendaraan roda dua keluaran Jepang waktu itu bisa dikatakan belum dikenal dan baru merajalela di akhir tahun 1970-an.

Akan halnya kendaraan roda empat, di lingkungan saya orang yang pertama kali memiliki kendaraan ini adalah Mbah Djo sekitar tahun 1973. Jenisnya adalah oplet yang disopiri oleh Pak Slam, putera sulungnya. Kendaraan penumpang ini melayani rute Muntilan-Magelang dan pada saat-saat tertentu disewa untuk kendaraan pengangkut rombongan pengantin. Sore hari sebelum masuk ke garasi, oplet ini biasanya dicuci di Kali Kuning. Pada saat seperti itu, satu dua kali saya pernah ikut numpang, sekadar merasakan “nikmatnya” naik mobil sesaat.

Kendaraan dari luar desa yang sering masuk ke Paremono biasanya truk yang mengangkut bahan bangunan atau truk dari Perusahaan Negara (PN) Kertas Blabak yang mengangkut jerami padi (damen) sebagai bahan baku memproduksi kertas. Beberapa kali saya ingat kendaraan-kendaraan tersebut terperosok dan slip karena melewati jalanan yang becek. Jika ada mobil memasuki desa, maka anak-anak akan berlarian dan berebutan untuk numpang di belakangnya. Anak-anak yang tergolong pemberani akan berusaha meloncat ke bak truk untuk ikut menikmati perjalanan sesaat. Maklum, merasakan naik mobil adalah sebuah momen yang langka dan sangat istimewa.

Penganten Menumpang Kereta

Jangankan mobil, jika ada andong atau kereta kuda yang lewat saja akan menjadi sasaran anak-anak untuk numpang. Beberapa kusir yang galak sering melarang dengan cara melecutkan pecutnya ke arah anak-anak jika mendapati polah tingkah anak-anak desa seperti itu. Jika ada warga Paremono yang menikah dengan orang dari luar desa, rombongan pengantin biasanya diangkut dengan beberapa kereta (ditarik dua ekor kuda) dan andong( ditarik satu ekor kuda). Pengantin naik di kereta paling depan. Di sepanjang jalan yang dilalui oleh rombongan ini, rame berjejer anak-anak dan orang tua menyaksikan mereka. Setiap melewati jembatan yang besar, seperti jembatan Kali Elo, Kali Progo atau Kali Pabelan, rombongan ini biasanya sudah menyiapkan anak ayam yang dimasukkan ke dalam keranjang anyaman bambu. Begitu melewati jembatan, maka ayam dalam keranjang ini akan dilempar dan kemudian diambil oleh warga sekitar.

Saat memilih hari pernikahan, orang yang punya gawe biasanya berkonsultasi terlebih dahulu dengan “orang tua”, yakni orang yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai primbon Jawa (Primbon Betaljemur Adam Makna). Dari situ akan diketahui hari baik dan bulan baik. Bahkan sampai urusan menentukan jam berapa yang baik untuk acara akad nikah, jam berapa dan menit ke berapa yang tepat untuk menaikkan tiang ke penopang (umpak) rumah, semua ada aturannya. Banyak orang waktu itu masih sangat percaya dengan primbon. Dua tetangga dekat rumah dikenal piawai dalam masalah ini dan sering dimintai pertimbangan saat seseorang mau punya gawe.

Sampai pertengahan era 1970-an, banyak warga desa yang masih mempratikkan budaya sinkretisme Jawa-Hindu-Islam seperti memberi sesaji kepada danyang di pojok-pojok desa, di kolam yang sering menjadi tempat mandi atau mencuci, di sumber mata air, di pojok sumur dan sebagainya saat seseorang akan memiliki gawe. Siwo (paman) jauh saya yang tidak pernah sholat tetapi mengaku beragama Islam masih suka memasang sesajen di sawah ketika upacara wiwit, yakni prosesi menjelang memanen padi. Sambil komat-kamit melafalkan mantra yang tidak saya ketahui maksudnya (maklum masih kecil), ia melakukan ritual melempar kue krasikan yang dibentuk bulat-bulat ke berbagai sudut sawah. Setelah itu ia akan meletakkan sesajen berupa nasi dengan segala ubo rampe yang dimasukkan ke dalam takir (daun pisang yang dibentuk segi empat sebagai wadah).

Sepulang memasang sesajen di sawah, di rumah telah siap acara kenduri (kenduren) dengan bacaan tahlil yang dipimpin oleh ayah saya. Segala hidangan berupa nasi (biasanya nasi megono, yakni nasi yang dimasak dengan cara kukus (diadang) dicampur parutan kelapa dengan sayur mayur seperti kol, nangka muda dan tauge) lengkap dengan ubo rampe berupa ingkung ayam (seekor ayam yang dimasak utuh dalam santan berbumbu) telah tersedia. Momen seperti ini selalu saya nantikan karena saya selalu kebagian ingkung berupa paha ayam kampung yang nikmat sekali rasanya. Maklum, makan dengan lauk ayam adalah sebuah peristiwa langka. Bisa dihitung dengan jari dalam setahun warga desa bisa menikmati lauk yang istimewa seperti ayam dan daging, yakni pada saat Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, dan Nyadran (sebuah upacara menghormat para leluhur yang dilakukan lima hari sebelum masuk puasa Ramadhan).

Ketika sebuah keluarga memiliki bayi, maka dalam lima hari penuh setiap malam warga sekitar akan berkumpul di rumah keluarga yang punya bayi (ngendong, jagong bayi). Acara ini dimulai dari sehabis sholat Isya sampai sekitar jam 23.00. Tak ada ritual khusus pada acara ini selain menjadi ajang silaturahmi, berbicara ngalor ngidul diselingi kepulan asap rokok dari rokok buatan sendiri (ting we, ngelinting dewe) berupa tembakau berbumbu kuat menyengat berupa klembak menyan atau berbumbu ringan berupa cengkeh bergambar Dorit (bendo arit) atau Menjangan. Adapun rokok keluaran pabrikan biasanya adalah merek Djeruk produksi Magelang atau Gudang Garam Merah produksi Kediri. Tak lama setelah tamu pengendong ini datang, tuan rumah akan menyajikan makanan ringan berupa wajik, lemper, lapis atau jadah dilengkapi teh manis panas yang telah dituangkan ke gelas sesuai dengan jumlah tamu. Saya lihat tradisi ngendong ini sekarang sudah tidak dijumpai lagi di Paremono. Yang masih ada adalah sedikit warga yang mempertahankan ritual memasang cermin dan gunting di dekat bayi dan memasang lentera minyak tanah atau sentir (karena minyak tanah semakin langka , ada yang menggantinya dengan lampu pijar 5 watt) plus sapu lidi bekas (sapu regel) di tempat menanam ari-ari dan tali pusar bayi di sekitar rumah.

Saat punya gawe istimema seperti acara pernikahan (memantu) adalah sebuah momen yang akan memeras segala energi fisik maupun psikis seluruh anggota keluarga yang punya gawe. Jika orang tersebut tergolong keluarga mampu, rentetan acara pesta sudah dimulai sejak jauh hari sebelum acara puncak berupa panggih (mempertemukan kedua mempelai) yang biasanya dilakukan di rumah mempelai perempuan, atau ngunduh manten di pihak keluarga pengantin laki-laki. Kerepotan bisa dimulai seminggu sebelum acara puncak tersebut dengan membangun barak. Bahan utama yang dipakai sebagai rangka adalah bambu yang kemudian menjadi sandaran atau penopang untuk meletakkan rigen ( anyaman bambu yang biasa dipakai untuk menjemur tembakau). Bangunan sementara ini dihias dengan bleketepe (anyaman daun kelapa tua) dan pohon pisang lengkap dengan buahnya yang sebagian sudah menguning , untaian janur kuning dan tebu hitam.

Warga terdekat sudah dilibatkan dalam kegiatan ini sejak jauh hari dengan menjadi panitia yang mengurusi sejak pengiriman ulem (undangan untuk kerabat dan relasi), peminjaman alat pesta seperti meja-kursi, peralatan makan, membangun barak, mengirimkan punjungan sampai acara selesai. Sebuah bangunan darurat disiapkan sebagai tempat dapur umum. Sekelompok pemuda dusun direkrut sebagai tenaga untuk menyajikan makanan (sinoman). Awal tahun 1970-an, hidangan makan untuk tamu awam yang baru datang setelah berbasa-basi sebentar dengan tuan rumah adalah makanan kecil berupa beberapa jenis kue basah seperti jadah, wajik (merah gula jawa atau jambon dengan pemanis gula pasir) , corobikang, gandos rangin, krasikan atau lemper yang dikeluarkan bersama segelas teh manis. Selain itu, di meja juga biasanya dilengkapi kue-kue kering yang dimasukkan ke dalam toples seperti kue panggang, bolu, atau emping mlinjo.

Setelah beberapa saat dipersilakan oleh tuan rumah, akan menyusul hidangan makan besar berupa sepiring nasi yang sudah dilengkapi lauk pauk (ramesan) yang terdiri dari sambel goreng kentang dan krecek dengan aksentuasi petai dan kapri, perkedel kentang, mi goreng, separo telur atau sekerat daging semur dan tidak lupa kerupuk. Jika tamu yang datang kebetulan tergolong orang yang sangat dihormati oleh tuan rumah (VIP), maka kepadanya dipersilakan makan secara prasmanan di ruangan khusus. Jenis lauk pauk yang disajikan untuk tamu VIP ini pun berbeda. Kesannya lebih mewah. Selain lauk-pauk tadi akan ditambahkan pula lauk pauk yang dianggap istimewa seperti bistik sapi (daging cincang yang dibentuk bulatan kecil-kecil dan dimasak dalam kuah santan dilengkapi dengan kapri plus petai), bacem tahu atau tempe, dan mangut gurame atau gule gurame dalam potongan kecil-kecil. Sebagai makanan penutup ditambahkan buah, biasanya pisang.

Saat puncak acara (panggih temanten) hidangan yang disajikan mengalir terus menerus dengan variasi berganti-ganti (mbanyu mili, seperti air yang terus mengalir). Dengan cara ini maka keluarga yang punya gawe akan terangkat gengsinya di mata masyarakat. Untuk memeriahkan pesta, keluarga mampu akan melengkapinya dengan menyajikan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk oleh dalang terkenal, ketoprak atau dang dut. Pertunjukan wayang biasanya dilakukan dua kali. Siang hari oleh dalang yang masih taraf belajar dan malam hari oleh dalang utama. Peralatan pertunjukan seperti gamelan atau wayang yang dimasukkan ke dalam peti, diangkut dari rumah sang dalang (kebanyakan dari daerah sekitar Jogja) menggunakan gerobak sapi. “Nong....nong....nong,” bunyi suara yang keluar dari kalung sapi. Peristiwa ini terekam sangat kuat dalam memori di otak saya saat pesta perkawinan Syah dari Dusun Paremono sekitar tahun 1971. Pesta perkawinan tersebut tergolong besar-besaran hingga memakan waktu berhari-hari.

Tiga hari menjelang puncak acara temu atau ngunduh manten, orang yang punya gawe telah menyewa loud speaker (merek Toa) . Waktu itu yang terkenal dari Dusun Tulung, Bumirejo. Loud speaker ini dipasang tinggi-tinggi di cabang pohon besar, pohon kelapa atau di tiang bambu. Musik dari tape recorder dengan pita kaset akan terus- menenus diputar sepanjang pagi hingga malam hari. Klenengan atau karawitan Tjondong Raos pimpinan Ki Tjondrolukito dengan pesinden kondang istrinya , Nji Tjondro Lukito, akan diputar berganti-ganti dengan dagelan Basijo, ketoprak Mataram , Wayang Orang Sri Wedari, Orkes Melayu Oma Irama dan Elvy Sukaesih dan Langgam Jawa Waljinah atau langgam dan keroncong Mus Mulyadi.

Suasana desa yang biasanya tenang, hening nirsuara -- kecuali suara-suara alam seperti kicau burung , suara jengkerik , suara angkup yang hinggap di daun waru, lengkingan tonggeret di pohon-pohon tinggi, atau desir angin menerpa daun bambu -- akan berubah. Dalam waktu beberapa hari udara desa akan meriah dengan suara yang keluar dari loud speaker. Karena dipasang tinggi-tinggi, suara ini akan jauh menembus batas ke desa-desa sekitar. Suaranya terdengar sangat nyaring menjadi teman bekerja para petani yang tengah sibuk di sawah atau menembus keheningan malam yang sunyi saat udara dingin dan kegelapan menyelimuti setiap sudut desa. Karena belum ada listrik, sumber energi untuk menghidupkan loud speaker dan tape recorder tersebut adalah baterai (aki) yang jika stroom habis akan di -chage ( di-stroom) di Blabak.

Warna Hiburan Desa

Karena hiburan masih langka, mendengar suara musik yang bersumber dari tape recorder berpengeras suara itupun sudah menjadi sarana hiburan tersendiri. Pesawat televisi waktu itu masih sangat langka. Yang umum adalah pesawat radio transistor dua band merek Cawang (National) atau Telesonic. Siaran radio waktu itu didominasi siaran RRI Pusat Jakarta (masih ingat acara berita setiap jam yang disiarkan oleh RRI Pusat dengan musik pembuka berita yang amat melodius itu?) dengan para penyiar kondang Sazli Rais, Hasan Asy’ari Oramahe atau Hastin Atas Asih dengan program acara terkenal Musik Pelepas Lelah. Selain RRI Pusat, siaran RRI Nusantara II Yogyakarta juga terkenal waktu itu dengan program hiburan lagu-lagu pop, program hiburan unggulan seperti Ketoprak Mataram, Dagelan Basijo atau Obrolan Pak Besut. Siaran RRI Surabaya (Wonotolo) juga bisa diterima cukup bagus. Setiap sore hari stasiun radio ini menyiarkan siaran pedesaan Mbangun Deso dengan musik pembuka berupa karawitan dengan lagu Gugur Gunung dan setiap malam Jum’at dia menyiarkan rutin Slawatan Laras Madyo. Untuk stasiun radio swasta (radio amatir) yang dikenal waktu itu baru Radio Tidar milik AKABRI Magelang dengan penyiar favorit Mas Yanto dan Mbak Endang.

Hampir semua stasiun radio masih mengandalkan siarannya di gelombang AM. Kalau cuaca hujan suara radio terdengar kresek-kresek dan hilang-timbul. Acara Pilihan Pendengar menjadi favorit para remaja dan anak muda di tahun-tahun itu. Setiap Lebaran tiba, acara Pilihan Pendengar (baik lagu-lagu melayu maupun pop) akan menjadi sangat semarak dengan ucapan-ucapan mesra dari para pengirim ke para pacarnya. Sepanjang siaran, lagu Selamat Lebaran yang sangat indah dari Oslan Husein akan menjadi latar belakang suara (back sound) terus menerus. Saat kita silaturahmi Lebaran (ujung), dari rumah ke rumah, setiap keluarga yang memiliki pesawat radio akan menyetel acara Pilihan Pendengar dengan latar belakang lantunan suara Oslan Husein ini. Indah dan semarak sekali suasananya.

Seingatku, warga Paremono yang terdekat dengan rumahku yang pertama kali memiliki pesawat televisi (sekitar tahun 1972) adalah Pak Fah dari Dusun Gamol. Dia adalah guru yang mengajar di SMP Muhammadiyah Muntilan.

Sebelum itu, siaran TV hanya bisa disaksikan di kota kecil terdekat, Blabak. Ingatan selintas mengenai hal ini membawa saya pada event pertandingan bulu tangkis beregu Thomas Cup. Di final waktu itu Indonesia yang dimotori oleh pemain tunggal Rudi Hartono dan ganda Tjun Tjun/ Djohan Wahjudi berhadapan Denmark dengan pemain tunggalnya yang sangat terkenal Svend Pri. Karena tak puas hanya mendengarkan laporan pertandingan secara langsung (istilahnya laporan pandangan mata) melalui RRI Pusat Jakarta (dengan cara membawakan laporan yang khas berupa kata-kata tanpa jeda itu) , beberapa anak muda tetanggaku pergi ke Blabak untuk menyaksikan pertandingan tersebut secara langsung melalui pesawat televisi. Sepulangnya, mereka dengan sangat antusias menceritakan bagaimana aksi pemain Denmark , Svend Pri, yang dikenal “urakan”. Di antaranya dengan mengembalikan bola lawan melalui sela-sela kaki. Hasil pertandingan akhir Indonesia unggul dan berhak atas trophy Thomas Cup dengan skor 5-4.

Untuk sekadar menonton TV, selepas sholat Maghrib, warga dusunku dan dusun-dusun lain , terutama anak-anak mudanya akan beramai-ramai mendatangi rumah Pak Fah. Pesawat TV hitam putih 14 inch itu dipasang di teras rumah beliau yang cukup lebar sehingga memungkinkan banyak orang menonton. Acara Dunia Dalam Berita dengan pembawa acara Toeti Adhitam dan Edwin , acara musik dan film-film Barat menjadi tontotan yang paling menarik. Waktu itu pertunjukan musik televisi kebanyakan masih direkam langsung di studio televisi. Video klip seperti yang kita kenal membanjiri hiburan musik televisi seperti saat ini belum ada.

Jumlah penonton akan bertambah berlipat ganda jika TVRI menyiarkan secara langsung pertandingan tinju antara petinju paling legendaris sepanjang masa, Mohammad Ali, dengan lawan-lawannya. Teriakan dan sorak-sorai penonton akan mewarnai sepanjang pertandingan. Semua akan puas jika di akhir pertandingan Si Mulut Besar (Muhammad Ali) berhasil memukul roboh (KO) lawannya. Hasil pertandingan ini akan terus menjadi topik pembicaraan menarik selama beberapa hari dalam obrolan sore hari selepas kerja maupun saat warga beristirahat di sawah. Saat ada pertandingan akbar seperti itu, murid-murid SD juga diperbolehkan menonton di tengah jam sekolah.

Tetangga terdekat kedua yang memiliki pesawat TV adalah Pak Sir dari Dusun Trojayan, sekitar tahun 1974. Yang saya catat pada momen ini adalah setiap Sabtu sore menjelang magrib, akan banyak sekali anak-anak yang telah menunggu ditayangkannya film dengan bintang utama seekor anjing yang sangat cerdik bernama Rin Tin Tin. Saat acara ini diputar, rumah Pak Sir yang besar itu pun penuh anak kecil. Pada setiap malam Rabu diputar film Mannix, seorang jagoan yang sangat cerdik dan film The Saint pada setiap malam Jum’at. Acara musik Kamera Ria Puspen Hankam juga sangat digemari karena sering menampilkan bintang-bintang penyanyi dan kelompok musik top waktu itu.

Acara yang kurang digemari adalah Wawancara dengan format yang sangat jadul (seorang pewawancara dengan beberapa nara sumber yang masing-masing duduk kaku) atau Mimbar Agama. Jika ada acara seperti ini, biasanya pesawat TV dimatikan sementara dan akan distel lagi setelah acara menarik berikutnya. Acara lain yang juga menjemukan adalah event tahunan Pemilihan Bintang Radio dan Televisi (BRTV) untuk memilih bintang penyanyi keroncong, seriosa dan pop yang memakan waktu tayang hingga berjam-jam.

Sebagai stasiun TV milik negara,TVRI waktu itu tidak mengandalkan anggaran siarannya melalui iklan. Meskipun demikian, iklan bukan sesuatu yang haram. Iklan-iklan yang sangat diingat oleh generasi itu adalah iklan obat sakit kepala Dusal dengan tampilan gambar wajah seorang bule yang kepalanya digabarkan meliuk-liuk akibat pusing. Setelah minum sebutir Dusal, sakit kepala si bule langsung sembuh. Juga ada iklan obat batuk Vick’s Formula 44. Iklan itu menggambarkan seorang pria Jepang gemuk terbatuk-batuk mengakibatkan komponen-komponen sebuah mobil rontok dan bannya yang lepas lari mengejar si pria tersebut. Setelah minum Vick’s, batuk pun reda dan pria pendek gemuk tersebut pun tersenyum. Hampir setiap malam rumah Pak Sir penuh sesak dengan warga yang akan menonton TV. Jika tuan rumah kebetulan sedang kurang sehat atau kurang baik mood-nya sehingga pesawat TV tidak dinyalakan, para “penonton yang kecewa” akan berbondong-bondong pulang.

Menjelang akhir dekade 1970-an kepemilikan pesawat televisi mulai merambah banyak warga. Mbah Djo, seorang juragan tembakau yang hanya berselang dua rumah dari rumahku , dan Pak Pur dari Dusun Mertan adalah warga terdekat lain yang menyusul memiliki “si kotak ajaib” tersebut. Film komedi Charlie Chaplin, Musik Minggu Siang, komedi Ria Jenaka, film bergenre western (koboi) The Wild Wild West dan Bonanza, The Six Million Dollar Man, I Dream of Jeany adalah sederet acara yang paling banyak ditunggu

Selain menonton televisi, warga Paremono waktu itu juga bisa menyaksikan berbagai macam pertunjukan kesenian rakyat, baik dari kelompok kesenian milik warga sendiri atau dari luar desa. Kethoprak, Kubro Siswo, Jathilan, Kuntulan, Campur dan sebagainya cukup sering meramaikan hiburan desa.

Di samping semua itu, pertunjukan musik dang dut adalah arena keramaian yang menjadi ajang mendatangkan penonton paling banyak. Apalagi jika yang bermain adalah kelompok musik dang dut dari Yogyakarta yang para penyanyi wanitanya dikenal cantik-cantik didukung teknik permainan dan tata suara (sound system) yang bagus. Hingga akhir tahun 1970-an, pertunjukan dang dut yang biasanya diadakan di halaman rumah orang yang sedang punya hajat pesta pernikahan tidak pernah mendatangkan kekisruhan berupa tawuran antarpenonton. Waktu itu nyaris tidak ada penonton yang menyaksikan pertunjukan musik dang dut sambil mabuk-mabukan dan berjoget.

Setiap bentuk keramaian di desa akan mengundang kedatangan para jagoan judi berupa judi koprok atau rolet dengan cara membuka lapak-lapak tak jauh dari arena pertunjukan. Sudah bukan rahasia lagi jika para penjudi ini bisa menggelar arena perjudian waktu itu berkat “berkoordinasi” dengan para aparat keamanan.

Sewaktu mahasiswa, dengan idealisme memberantas maksiat yang masih berkobar saya pernah melaporkan kepada seorang aparat keamanan resmi yang saya nilai bersih mengenai adanya kegiatan perjudian mendompleng acara kesenian Kubro Siswo. Karena orang yang saya lapori ini saya tahu persis termasuk orang yang bersih, tanpa ba bi bu ia langsung merazia (menggropyok) lapak-lapak perjudian. Semua orang kocar-kacir dan lari tunggang langgang. Beberapa peralatan judi oleh Pak Polisi tersebut diinjak-injak, lampu penerang ditendang. Dari tempat yang agak jauh saya menyaksikan adegan ini sambil bergumam, “Syukur!”

Setiap bentuk keramaian seperti ini juga berhasil mendatangkan para pedagang makanan dari berbagai daerah. Makanan yang biasa dijajakan di arena hiburan desa seperti ini antara lain bakso, gule dan tongseng kambing, martabak telur, wedang ronde, geblek, arum manis dan kupat tahu. Berdatangan pula pedagang rokok dan mainan anak-anak berupa mobil-mobilan kayu, orek-orek, balon yang diisi gas karbit, boneka akrobat dari kayu, dan sebagainya.

Panta rei, hidup terus mengalir, kata seorang filsuf Yunani. Keadaan desa Paremono dari tahun 1970-an hingga kini telah berjarak waktu 40-an tahun. Semua berubah dan berkembang. Perkembangan dan perubahan itu, tentu, ada yang positif dan negatif. Dan, forum ini tak berpretensi untuk memberi penilaian soal tersebut. Insya Allah, melalui blog ini cerita mengenai “sejarah perkembangan sosial” sebuah desa menurut versi subjektif ini akan saya tulis lagi dengan topik yang lain. Memori di otak ini masih sangat banyak yang ingin saya tuangkan, tapi kalau saya perpanjang lagi tulisan ini, khawatir pembaca keburu bosan dengan blog ini. Sanes wekdal mawon nggih! Salam Maju Desaku!

4 komentar:

  1. Desa Paremono Insyaallah tanggal 29 Desember 2013 akan melaksanakan pemilihan Kepala Desa periode 2014 - 2020... kepada Bapak/ Ibu/ Saudara/i mohon doa restunya semoga pemilihannya berjalan lancar, aman tanpa halangan suatu yang berarti dan semoga mendapat ridlo dari Allah SWT. Amin..... salam sukses buat Bapak/ Ibu/ Saudara/i dimanapun anda berada....

    BalasHapus
  2. kenal gak sama Mbah saya...(Alm) Mbah Darmowasito di nggamol..salah seorang putranya dulu pemain ketoprak di Paremono..Pak Trisula

    BalasHapus
  3. Salam ketemuan.
    Sedikit tambahan TV pertama di Gamol milik Pak Fahrur, TV ke.2 di Mertan milik Pak Darmo Djiyo. Rumah Pak Trisulo sekarang didepan rumah Pak Muid Alm.
    Mmbaca artikel "Sejarah perkembangan sosial desa Paremono" yg super sekali itu, pikiran terbawa ke masa lalu, ketika pak Adil tukang Cukur ikut dishooting di pojok rumah, Ateng diberi tugas mnjemput dukun beranak dekat tukang Cukur malah menjemput tukang cukur yg rmhnya dekat dukun beranak unt mmbantu persalinan.
    Jujur sy pingin tahu data diri penulis, kalau berkenan, mampirlah ke inbox FB sy di "Koko Mertan".
    Oke sampai ketemu di kampung halaman.

    BalasHapus