Menyebut Paremono adalah menyebut sebuah desa di Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Nama desa ini unik dan sepengetahuan saya, tidak ada satu pun yang menyamainya di seluruh Indonesia, bahkan dunia. Tidak percaya? Coba saja klik internet dan buka mesin pencarian di situs Google (Googling). Di situ tak ada nama desa lain untuk Paremono, selain desa dimana aku dilahirkan pada 1 Juli (tahunnya ndak perlu disebut karena tidak penting). Dengan demikian, kalau ada orang dari Kutub Utara sekalipn, misalnya, mau mencari Desa Paremono, tinggal klik di Google mereka akan langsung tahu dimana posisi desa ini.
Meskipun telah berjarak sekitar 20 tahun semenjak aku tinggal di ibu kota Jakarta pada awal 1990, aku mencoba merangkai cuplikan-cuplikan kenangan menjadi sebuah gambar yang agak utuh di benak mengenai sosok desa ini di masa lalu. Bukan sekadar bermaksud bernostalgia, tetapi barangkali dari cerita ini terbersit nilai-nilai masa lalu yang bisa menjadi inspirasi kita untuk merenda kehidupan di masa kini dan mendatang. Kadang-kadang sulit merangkai cuplikan-cuplikan tersebut menjadi sebuah gambar yang utuh mengingat rentang waktu yang sudah sekian lama. Ibarat memasang sepotong demi sepotong puzzle pada sebuah bidang yang hanya dengan kesabaran dan ketelitian akan menjadi sebuah gambar yang utuh dan bisa dinikmati.
Namengan adalah nama dusun tempat aku lahir. Orang tuaku pernah bercerita, saat-saat awal aku menghirup udara bumi, kehidupan ekonomi masyarakat desaku pada umumnya sedang sulit. Untuk makan sehari-hari saja susahnya bukan main. Jika dalam sehari bisa ketemu nasi, wah.... benar-benar sebuah kemewahan.
Jagung tumbuk, tiwul ( bahan makanan berbahan dasar gaplek atau singkong yang dikeringkan dengan cara dijemur) , atau tiwul yang dimasak dicampur dengan beras adalah makanan pokok rutin masyarakat kebanyakan di kampungku waktu itu. Jagung (sego jagung) menjadi makanan pokok pilihan masyarakat pada umumnya. Selain harganya terjangkau, makanan ini setelah dimasak bisa bertahan lama. Disimpan di bakul (ceting), setiap kali mau makan tinggal mengorek tipis di bagian atasnya agar bersih dari jamur. Tak perlu setiap hari memasaknya. Hanya sebagian kecil warga desa yang secara ekonomi tergolong mampu saja yang setiap hari bisa rutin makan nasi.
Ketika usiaku belasan tahun dan duduk di bangku SMP Negeri Blabak, dari guru sejarahku (Pak Sumarlan, yang agak galak itu) dan dari berbagai buku bacaan , ternyata pada masa itu keadaan politik nasional sedang panas. Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang menggalang kekuatan. Mereka melakukan unjuk gigi dimana-mana dan sedang gencar-gencarnya memupuk (memobilisasi) dukungan rakyat. “Ibu pertiwi sedang hamil tua” adalah sebuah istilah yang beredar di kalangan elit politik PKI di Jakarta waktu itu untuk menggambarkan akan lahirnya sebuah gerakan besar di panggung politik nasional.
Seorang tokoh masyarakat desa pernah bercerita ketika aku mahasiswa : penyebab kesulitan bahan pangan yang melanda masyarakat selain karena faktor alam berupa kemarau panjang juga disebabkan PKI tengah melakukan aksi-aksi untuk menciptakan kekisruhan dan keresahan (instabilitas) menuju pematangan situasi ke aksi-aksi revolusioner. Desas-desus waktu itu menyebutkan PKI membuang ribuan ton beras ke laut agar masyarakat kekurangan bahan pangan. Tujuannya agar masyarakat resah sehingga mematangkan situasi menuju “kelahiran bayi” revolusi sosial.
Pentolan-pentolan partai ini, kabarnya, menginstruksikan para anggota dan simpatisannya hingga ke level desa agar membuat lubang-lubang untuk menanam mayat elit-elit desa yang akan mereka bunuh yang kontra terhadap mereka. Jika revolusi berhasil, kepada mereka dijanjikan sawah-sawah gratis yang berhasil dirampas dari orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah. Benar tidaknya cerita ini, wallahu a’lam.
Dari memori masa kecilku yang masih lemah dan samar-samar, aku ingat sebuah momen ketika diajak oleh orang tuaku menyaksikan pagelaran seni tradisional berbentuk tarian. Mungkin karena waktu itu suasana desa sepi dan tak pernah tersentuh keramaian menyebabkan segala sesuatu yang berbau hiburan akan mengundang banyak orang untuk menonton. Belakangan ketika nalar kecilku mulai mengerti, beberapa tetangga dekat rumahku waktu itu ikut menjadi penyelenggara dan peserta pertunjukan yang kemudian dikenal dengan nyanyian dan tarian Genjer Genjer. Ini adalah sebuah ekspresi kesenian rakyat yang dibungkus aroma politik kuat yang digerakkan oleh para simpatisan atau aktivis PKI level desa.
Belakangan aku ketahui pula bahwa beberapa tetanggaku yang pernah aktif atau menjadi simpatisan partai ini ada yang terkena hukuman tahanan karena aktivitasnya itu dan ada pula yang terkena wajib lapor ke kantor Koramil. Beberapa tetanggaku terkena wajib lapor karena mereka tercatat sebagai simpatisan atau sekadar ikut-ikutan (ela-elu). Dua di antaranya termasuk saudara keluargaku. Di desa Paremono juga tercatat beberapa pentolan partai politik berlambang palu arit ini sehingga ada yang bahkan ikut mencicipi kerasnya hidup sebagai tahanan politik (tapol). Seingatku, terhadap mereka ini diklasifikasikan menjadi beberapa golongan , menurut tingkat keterlibatan mereka :
- Golongan A
Yaitu mereka yang terlibat langsung dalam pemberontakan G 30 S /PKI baik di pusat maupun daerah.
- Golongan B
Yaitu mereka yang telah disumpah atau menurut saksi telah menjadi anggota PKI atau pengurus ormas seasas dengan PKI, atau mereka yang menghambat usaha penumpasan G 30 S / PKI
- Golongan C
Yaitu mereka yang pernah terlibat dalam pemberontakan PKI atau anggota ormas seasas PKI atau mereka yang bersimpati atau telah terpengaruh sehingga menjadi pengikut PKI
Tindakan hukum terhadap ketiga golongan orang yang terlibat dalam aksi G 30 S /PKI ini pun berbeda-beda menurut kadar kesalahan dan keterlibatannya.
Golongan A, pemerintah memproses melalui sidang pengadilan
Golongan B, pemerintah melakukan pemisahan dari masyarakat dengan cara mengumpulkan mereka dalam suatu tempat dengan tujuan mengamankan mereka dari kemarahan rakyat dan mencegah mereka melakukan kegiatan yang menghambat upaya penertiban keamanan yang dilakukan pemerintah.
Golongan C, pemerintah memberikan bimbingan dan mereka bebas hidup dalam masyarakat sehingga diharapkan akan menjadi anggota masyarakat yang baik.
Kebijakan politik yang keras terhadap orang-orang yang pernah bersentuhan atau menjadi aktivis partai ini oleh penguasa Orde Baru di bawah Rezim Soeharto -- yang menjadi pemenang ontran-ontran politik pasca G 30 S/ PKI -- menjadikan sebagian dari tetanggaku ini terkena cap “Tidak Bersih Lingkungan”. Sebuah predikat yang bisa berefek panjang sampai ke anak cucu yang menyebabkan mereka sulit memperoleh akses menjadi pegawai di pemerintahan atau anggota militer. Saya masih ingat, untuk berbagai macam kepentingan seperti melamar pekerjaan, atau menjadi pegawai negeri kita diwajibkan mengurus Surat Keterangan Bersih Lingkungan yang dikeluarkan oleh Koramil.
Mengapa lengan-lengan gurita PKI mampu menjangkau desaku yang damai? Inilah sebuah pertanyaan menarik yang jika ditelusuri jawabnya mungkin terkait erat dengan aspek ideologis masyarakat Jawa yang toleran dan lemahnya sendi keagamaan masyarakat desa. Kita tahu bahwa salah satu doktrin atau ajaran komunisme yang ditelurkan oleh Mbah Karl Marx dari Rusia sana menyebutkan bahwa agama adalah candu masyarakat. Terhadap doktrin yang ekstrim menentang agama saja, masyarakat desa waktu itu bisa menerima. Artinya tidak mendapatkan penentangan yang berarti di kalangan masyarakat.
Kendati hampir 100% warga Paremono -- dari dulu sampai sekarang -- mengaku beragama Islam, tingkat pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran agama mereka sangat beragam. Ada selapis tipis kaum santri di bagian atas, dan di bawahnya adalah sebagian besar orang yang awam, bahkan acuh tak acuh terhadap agama (Islam). Saya ingat di awal-awal tahun 1970-an jamaah sholat di hampir semua masjid Paremono masih relatif sepi. Masjid baru akan menjadi sangat ramai dan jamaahnya membludak hanya pada saat Sholat Idul Fitri. Banyak warga yang menjalankan sholat hanya setahun sekali. Bahkan ada warga yang secara formal di KTP tercantum beragama Islam, tetapi tak pernah melakukan sholat sepanjang tahun. Hanya waktu meninggal dunia saja dia disholatkan dan diperlakukan layaknya seorang Muslim.
Ada yang tak melakukan ibadah karena memang kesadaran dan pemahaman agamanya sangat minim. Namun ada juga karena sebagian warga memiliki kesadaran keagaamaan lebih condong sebagai penganut ajaran Kejawen. Di mata mereka, ibadah dan agama formal (Islam) itu tidak penting. Yang penting seseorang selalu eling (ingat) kepada Tuhan, hatinya bersih dan berbuat baik kepada orang lain. Beberapa warga bahkan dikenal sebagai tokoh dari ajaran Kejawen tersebut. Kendati agama Islam sudah masuk ke Paremono sejak lama dan sulit melacak jejaknya dari kapan, namun pemahaman dan pengetahuan warga terhadap agama ini bisa dibilang masih relatif baru.
Saya ingat Mbah putri saya (Mbah Bi’as, alm) pernah bercerita bahwa suminya, mbah kakung saya ( Kyai Sjarkowi, alm) yang berasal dari Dusun Ponggol, Tamanagung, Muntilan, adalah salah seorang yang ikut merintis pengajaran agama Islam di kalangan masyarakat Paremono. Ketika saya usia SD, beberapa bekas murid mengaji Mbah Kyai Sjarkowi masih hidup. Dalam spektrum keberagamaan seperti itu wajar jika PKI bisa masuk dan mempengaruhi warga Paremono untuk bergabung. Meskipun beberapa di antaranya sekadar ikut-ikutan (ela-elu, ora ngerti kentang kimpule) tanpa didasari kesadaran ideologis dan sekadar tertarik oleh iming-iming mendapat sawah gratis.
Setelah melalui proses panjang, kini kehidupan keagamaan warga Paremono memang telah jauh berkembang. Hampir setiap masjid selalu penuh saat sholat Jum’at. Suasana dan kehidupan dakwah terasa lebih hidup dan akan sangat meriah saat memasuki bulan Ramadhan. Setiap masuk waktu sholat,bukan hanya dari masjid, dari mushala yang kecil-kecil saja (di setiap dusun bisa memiliki tiga atau empat mushala) ramai mengumandangkan seruan azan melalui pengeras suara keras-keras. Beberapa tetanggaku yang dulu tergolong kurang tekun beribadah, kini mereka terlihat lebih bersemangat mendekatkan diri kepada Tuhan. Bahkan beberapa keturunan tokoh penganut Kejawen – anak, cucu, cicit – menurut pengamatan saya menjadi para penganut Islam yang tekun beribadah.
Gejala segregasi ( pemilahan) antara penganut aliran Nahdlatul Ulama (NU) dengan Muhammadiyah memang gejala keagamaan yang mulai terlihat sejak akhir era 1970-an dan masih bisa dilacak jejaknya sampai saat ini. Hal itu terlihat dari pola-pola peribadatan yang berbeda di beberapa mushala atau masjid. Namun secara umum , mayoritas warga Paremono adalah penganut aliran NU dengan tokoh panutan yang sangat berpengaruh dan kharismatik, Simbah Kyai Ahmad Abdul Haq (Mbah Mad), dari Watu Congol, Gunung Pring, Muntilan.
Seingatku, sampai awal era tahun 1970-an hampir semua mushala atau masjid di Paremono mengamalkan praktik-praktik peribadatan ala NU yang terlihat dari beberapa ciri seperti mengumandangkan puji-pujian sebelum shalat fardhu, shalat tarawih 23 rakaat, azan dua kali sebelum masuk sholat Jum’at, khotib memegang tongkat saat khotbah Jum’at dan beberapa ciri lainnya. Kendati segregasi ini terjadi kini, namun alhamdulillah hal tersebut tidak menjurus menjadi gesekan atau menimbulkan konflik terbuka sebagaimana pernah terjadi pada kasus segregasi praktik keagamaan ini di tetangga desaku.
Di bawah permukaan , walaupun semakin jarang, memang masih terdapat suara-suara yang kurang bisa menerima keberadaan kelompok dengan praktik peribadatan yang agak berbeda. Namun berkat kedewasaan masyarakat menyebabkan mereka semakin bisa saling memahami dan menghormati. Mau sholat tarawih di masjid yang mempratikkan sholat tarawih 23 rakaat, monggo, mau memilih yang 11 rekaat ya silakan. Mau melaksanakan sholat Jum’at dengan adzan dua kali, boleh, mau di sholat di masjid yang mengumandangkan azan satu kali yo ora opo-opo. “Kabeh podho Islame, mung dalane sing diliwati nuju akherat rodo bedo sethithik. Ning mengko neng akherate pada ketemune neng swargo. (Semua sama-sama beragama Islam, cuma jalan yang dilalui sedikit berbeda, namun nanti di akherat akan sama-sama ketemu di surga),” kata seorang tetanggaku. Sebuah cara pemahaman keagamaan rakyat biasa yang bersahaja namun sangat bijaksana.